Pembahasan-pembahasan pemikir dan filosof seperti Sokrates dan Plato yang berdasarkan atas kemandirian dua fenomena agama dan akhlak, teori pemisahan Karl Marx dan Sigmund Freud, klaim ketidaksesuaian di antara keduanya, dan wacana antara pengikut mazhab ‘adliyyah dan asy’ariyyah tentang kebaikan dan keburukan akal dan syar’i perbuatan-perbuatan manusia, semuanya mengisahkan bahwa masalah agama dan akhlak ini mempunyai usia dan sejarah yang amat panjang. Mungkin hal ini disebabkan karena agama dan akhlak senantiasa menyertai manusia sejak awal keberadaannya serta dua fenomena ini timbul dari tabiat dan fitrah manusia.
Jika kita meninjau dengan tinjauan eksternal terhadap perbedaan dan pertikaian di antara pemikir-pemikir dalam masalah hubungan agama dan akhlak, kita akan mendapatkan bahwa seluruh perbedaan itu berdasarkan pemikiran-pemikiran apriori secara psikologi, sosiologi, antropologi dan filosofi yang dilakukan oleh mereka dalam mengafirmasikan atau menegasikan hubungan ini. Problem utama juga yang bisa kita lihat dalam tulisan-tulisan para pemikir Barat dalam masalah ini, kelompok pemikir ini terkadang mengabstraksikan agama dan akhlak dengan definisi eksternal dan mengutarakan kebagaimanaan hubungan di antara dua fenomena tersebut yang pada akhirnya, dengan penilaian dan penghukumannya melakukan perbandingan antara akhlak dan agama-agama. Di samping itu, terkadang kata agama yang mereka maksud adalah agama Masehi, tapi pada posisi pengambilan konklusi mereka menggeneralisasikan pembahasannya pada seluruh agama-agama.
Dengan memperhatikan uraian di atas, dalam tulisan ini akan diteliti dan diobservasi pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini: Apa bentuk kesesuaian yang dapat kita temukan di antara dua fenomena ini? Apakah akhlak mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan agama? Apakah agama yang butuh pada akhlak atau akhlak yang butuh pada agama? Apakah perintah-perintah akhlak harus didapatkan dari teks-teks agama dan kitab suci ataukah akal dan nurani secara mandiri dapat menentukan hakikat-hakikat akhlak? Apakah mungkin akhlak tanpa Tuhan (akhlak sekuler)?
Definisi serta Inti Hubungan Agama dan Akhlak
Pertama kita harus mendefinisikan agama dan akhlak serta hubungan keduanya, dan dari hubungan dua realitas tersebut kita akan mengungkapkan bahasan yang lebih mendalam dan lebih detail tentang masalah ini:
a. Definisi-definisi yang beragam tentang agama telah banyak dipaparkan dalam berbagai tulisan-tulisan yang ada, dan sudah jelas yang dimakud agama dalam hal ini adalah hakikat-hakikat yang disampaikan kepada manusia dari jalan wahyu. Di samping itu untuk memperjelas ruang lingkup bahasan maka agama yang dimaksud dalam masalah teologi kita ini adalah agama Islam. Oleh karena itu, dalam pembahasan kali ini yang harus dibandingkan, adalah teks-teks agama Islam dengan akhlak sehingga secara lebih jelas dihasilkan pandangan tentang batasan agama dalam masalah-masalah akhlak.
b. Apa yang dimaksud dengan akhlak? Kata akhlak, yang bentuk jamaknya adalah “Khulq”, dalam bahasa Arab bermakna sifat dan malakah nafsâni (sifat dan malakah jiwa), dimana karena efek kondisi jiwa ini manusia melakukan pekerjaan tanpa melalui proses berfikir. Makna leksikal ini meliputi sifat dan perbuatan baik dan juga sifat serta perbuatan buruk. Oleh karena itu akhlak dibagi atas akhlak baik dan akhlak buruk. Meskipun dalam peristilahan, akhlak mempunyai makna yang bermacam-macam, tetapi kita tidak mengarah pada bentuk pembahasan seperti demikian, karena itu malah akan menjadikan pembahasan kita ini dalam bentuk pembahasan yang lain.
Akhlak (ethics) merupakan suatu ilmu yang membicarakan sisi-sisi kehidupan manusia yang paling penting. Semua kita manusia menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini: Apa yang harus kita kerjakan dan apa yang tidak boleh kita lakukan? Apakah kezaliman adalah buruk dan Keadilan adalah baik? Apakah orang tidak boleh berdusta? Pertanyaan-pertanyaan ini yang mempunyai hubungan dengan prilaku dan perbuatan manusia, pada akhirnya juga menjadi sumber munculnya pertanyaan-pertanyaan yang baru antara lain: Apa yang menjadi ukuran baik dan buruk? Apakah proposisi-proposisi akhlak mempunyai nilai kebenaran? Apakah akhlak mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain seperti seni, tarbiyah, agama dan sebagainya? Apakah dapat diambil natijah “harus” dari wujud-wujud?
Untuk lebih dalamnya pembicaraan yang kita lakukan maka perlu diungkapakan juga poin-poin yang berhubungan dengan akhlak yang merupakan fokus dan inti dari permasalahan akhlak:
1. Deskripsi keyakinan-keyakinan akhlak
Kelompok qadiyah-qadiyah ini yang terhitung bentuk penelitian eksperimen, deskripsi, sejarah, atau ilmu, telah menjadi bahan aktivitas penelitian yang dilakukan oleh antropolog, sejarawan, psikolog, dan sosiolog. Tujuan yang ada dalam masalah ini menjelaskan dan mendeskripsikan fenomena akhlak, proposisi-proposisi akhlak, dan sistem-sistem akhlak individu atau masyarakat sehingga dapat ditemukan suatu teori dalam basis tabiat dan fitrah akhlak manusia.
2. Proposisi-proposisi akhlak atau ilmu akhlak
Proposisi-proposisi ini membicarakan tentang permasalahan baik dan buruk akal, harus dan tidak harus, sifat baik dan buruk, dan sifat mulia serta hina manusia. Kelompok dari masalah-masalah akhlak yang disebut di atas dikenal dengan akhlak normatif (Normative Ethics) dan akhlak derajat pertama (First Order Ethics).
Perlu kami sebutkan bahwa terdapat dua bentuk hakikat-hakikat akhlak: pertama, proposisi-proposisi yang predikatnya terbentuk dari komprehensi-komprehensi seperti baik dan buruk; dan kedua, proposisi-proposisi yang predikatnya terbangun dari komprehensi-komprehensi seperti harus dan tidak boleh.
3. Tinjauan filsafat terhadap proposisi-proposisi akhlak
Pembenaran kaidah-kaidah dan hukum-hukum akhlak serta penjelasan kegunaan universal nilai-nilai akhlak, atau dengan kata lain keharusan dan kemestian manusia mengikuti aturan-aturan akhlak, merupakan pusat perhatian seluruh filosof akhlak sejak dahulu.
Sebagian filosof mengamati kerugian-kerugian kejiwaan dan kemasyarakatan dari efek perbuatan-perbuatan tidak berkhlak dan prilaku-prilaku yang hipokrit.
Segolongan lain dari filosof mengklaim bahwa untuk menjadikan manusia berakhlak, tidak boleh sama sekali diungkapkan bentuk dalil yang berdasarkan atas manfaat perorangan. Keputusan manusia untuk berakhlak, harus berpijak pada penghargaan terhadap pemikiran akhlak; tanpa membutuhkan pembenaran yang lebih tinggi dari itu. Menurut pandangan para pemikir ini, seruan tugas dan kewajiban merupakan sesuatu yang niscaya dan mutlak.
Kelompok ketiga dari filosof mengutarakan pandangan bahwa teori-teori metafisika dan agama yag beragam, memiliki pengaruh yang sesuai dengan analisa, penjelasan, dan pembenaran atas keterikatan-keterikatan terhadap kehidupan berakhlak. Para pemikir ini berargumen bahwa tanpa sebagian dari landasan matafisika atau agama secara minimal maka usaha berakhlak, adalah tidak bermakna.
Menunjukkan ukuran penilaian universal, dari sisi baik dan buruknya perbuatan serta pembenaran dan pembelaan filsafat dari ungkapan-ungkapan akhlak manusia, merupakan inti dan asas lain dari akhlak. Ketika dikatakan ukuran baik dan buruk, kelezatan, kebahagiaan, dan hati nurani selaras dengan kesempurnaan manusia dan dimensi kemuliaan manusia, pada dasarnya ukuran yang dibicarakan adalah ukuran harus dan tidak boleh; dan model pembahasan ini menjadi bahasan ilmu akhlak dan juga dijelaskan dalam bahasan filsafat akhlak sebagai landasan penegasan ilmu akhlak. Teori dan pandangan yang berhubungan dengan parameter akhlak normatif, secara umum dibagi atas dua bagian: teori teleological (Teleological Theories) dan teori deontologikal (Deontological Theories).
Para pemikir teori teleologikal berpandangan bahwa hukum-hukum akhlak secara keseluruhan dihasilkan dari efek dan natijah perbuatan. Berasaskan ini mereka menghukumi baik dan buruk atau harus dan tidak bolehnya amal perbuatan. Natijah-natijah perbuatan itu, apakah ia keuntungan perbuatan akhlak bagi seorang pelaku, ataukah kelezatan dan perkara-perkara lainnya. Yang termasuk wakil dan tokoh dari aliran teori teleologikal ini di antaranya, David Hume dan John Stuart Mill.
Adapun kaum deontologikal berpandangan bahwa benar dan tidak benar atau harus dan tidak bolehnya amal tidak mengandung natijah, tujuan, dan efek dari pada perbuatan; akan tetapi mereka berkeyakinan bahwa amal itu sendiri mempunyai kekhususan-kekhususan yang menunjukkan baik dan buruk atau harus dan tidak bolehnya amal. Kant dan P. Richard terhitung sebagai tokoh utama dari aliran ini.
4. Kenyataan Proposisi-proposisi akhlak
Apakah ungkapan-ungkapan akhlak adalah insyâi (perintah) atau ikhbâri (pemberitaan)? Apakah ia menceritakan realitas dan nafsul amr (fact-itself) ataukah tidak? Dan secara asas, apa nafsul amr dan mahkî (yang diberitakan) proposisi-proposisi akhlak? Kelompok masalah-masalah ini mempunyai tempat bahasan dalam epistemologi akhlak.
5. Pembahasan berhubungan dengan konklusi
Apakah ungkapan-ungkapan akhlak, dihasilkan dari proposisi-proposisi bukan akhlak dan sebaliknya? Dan masalah apakah qadiyah-qadiyah bukan akhlak dapat melahirkan ungkapan-ungkapan akhlak, pembahasan ini berhubungan dengan penetapan “harus” dan “tidak boleh” dari “ada” dan “tidak ada”, atau dengan kata lain dengan proposisi yang berhubungan “ada” dan “tidak ada” ditetapkan “harus” dan “tidak boleh”. Kelompok masalah-masalah ini, berhubungan dengan pembahasan kemantiqian akhlak.
6. Hubungan akhlak dengan ilmu dan makrifat lainnya
Kelompok akhir dari masalah-masalah akhlak, pembahasan yang berkenaan dengan hubungan akhlak dengan hakikat-hakikat lain seperti seni, tarbiyah, hak asasi, agama, dan lain-lain. Yakni masalah: apakah akhlak individu atau masyarakat berpengaruh dalam membangun kebudayaan dan peradaban? Apakah “harus” dan “tidak boleh” akhlak berhubungan dengan “harus” dan “tidak boleh” (wajib dan haram) agama? Apakah agama menambah akhlak atau akhlak dihasilkan dari agama? Dan masalah-masalah lainnya seperti ini.
Dari masalah-masalah akhlak yang disebutkan di atas, masalah keempat sampai masalah keenam dikenal dengan akhlak analitik, akhlak intiqâdi (akhlak kritik), meta akhlak, dan akhlak derajat kedua (Second Order Ethics); akhlak analitik ini tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan akhlak dan hukum-hukum normatif; akan tetapi seluruh upaya dia dalam medan pertanyaan-pertanyaan logikal, epistemologi, dan linguistik akhlak.
Komprehensi Hubungan Akhlak dan Agama
Komprehensi hubungan akhlak dan agama dapat ditafsirkan dalam dua bentuk: pertama, hubungan kandungan dan proposisi; dengan pengertian bahwa aturan-aturan akhlak, diistinbatkan dan dihasilkan dengan merujuk pada teks-teks agama, kitab, dan sunnah. Oleh karena itu, dengan murni tinjauan agama, akhlak tidak akan menjadi sebagai keseluruhan ungkapan-ungkapan yang mengandung “harus” dan “tidak boleh” serta baik dan buruk. Tafsiran kedua adalah hubungan sebagai dasar dan landasan; yakni aturan-aturan akhlak tidak lahir dari agama, tetapi diperoleh dari sisi fitrah, hati nurani, akal amali, atau wasilah lain yang bukan teks agama. Kendatipun demikian, akan tetapi pengaruh agama, secara khusus akidah agama seperti keyakinan terhadap Tuhan dan hari akhirat, adalah sangat urgen dalam menjamin realisasi aturan-aturan akhlak. Berdasarkan tafsiran pertama, akhlak adalah bagian atau identik agama, sedangan tafsiran kedua, akhlak dan agama satu sama lain adalah mandiri, tetapi agama atau keyakinan agama dianggap sebagai suatu landasan pembenaran proposisi-proposisi akhlak.
Penelitian Tentang Masalah Hubungan Harus dan Ada
Orang-orang yang menerima hubungan antara proposisi-proposisi agama dan akhlak serta juga deduksi akhlak dari agama atau agama dari akhlak, pada hakikatnya mereka juga menerima deduksi logikal “harus” dan “ada” atau pengambilan konklusi “ada” dari “harus”.
Bartly, menyebutkan enam asumsi bagi hubungan logikal antara agama dan akhlak serta kemungkinan deduksi dan ketidakmungkinan pengambilan natijah dua hakikat tersebut:
1. Akhlak menerima deduksi dari agama dan sebaliknya; dalam bentuk ini akhlak dan agama adalah identik.
2. Akhlak dapat menerima deduksi dari agama, tapi tidak sebaliknya; dalam bentuk ini akhlak merupakan bagian dari agama, tetapi tidak seluruhnya.
3. Agama dapat menerima pengambilan konklusi dari akhlak, tapi tidak sebaliknya; di sini agama merupakan bagian dari akhlak. (Dalam tiga asumsi ini, terjadi kesesuaian agama dan akhlak serta tidak terdapat pertentangan di antara keduanya).
4. Akhlak tidak menerima deduksi dari agama; demikian juga agama tidak menerima deduksi dari akhlak; akan tetapi keduanya ini satu sama lain sesuai dan saling mandiri; keduanya tidak identik serta tidak ada yang menjadi bagian dari yang lainnya.
5. Akhlak tidak menerima pengambilan natijah dari agama atau sebaliknya; dan dalam ukuran tertentu terjadi kesesuaian, tapi tidak secara keseluruhan.
6. Akhlak dan agama secara keseluruhan tidak sesuai dan satu sama lain saling menolak.
Secara keseluruhan akhlak dan agama, adalah saling mandiri secara sempurna dan tidak terjadi sama sekali hubungan deduksi, bagian, dan keseluruhan di antara keduanya atau akhlak dan agama adalah identik keduanya atau akhlak merupakan bagian agama atau agama adalah bagian akhlak. Dalam bentuk pertama, apakah agama dan akhlak secara nisbah keduanya memiliki keselarasan ataukah keduanya secara global mempunyai pertentangan? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kita uraikan terlebih dahulu landasan konsepsi dari pembahasan.
Penerimaan deduksi akhlak dari agama, meniscayakan istinbat “harus” dari “ada”. Ketika dikatakan: “Tuhan memandang baik keadilan, maka dari itu keadilan adalah baik”, pada dasarnya telah terjadi pergerakan dari suatu proposisi agama yang meninjau terhadap realitas dan menjelaskan iradah Tuhan kepada suatu proposisi nilai dan akhlak; dan ketika dikatakan: “Keadilan adalah baik maka Tuhan menginginkan keadilan”, dalam bentuk ini terjadi perjalanan dari proposisi nilai kepada proposisi agama yang tinjauannya terhadap realitas. Sekarang jika orang seperti Hume tidak menerima pergerakan dari “ada” kepada “harus” dan perjalanan dari “harus” kepada “ada”, memestikan terjadinya pertentangan terhadap seluruh deduksi dan pengambilan natijah ini. Tapi dalam bentuk pandangan dan ungkapan Hume tidak diterima, atau minimal dipandang bisa terjadi pengambilan natijah proposisi-proposisi nilai dari dua premis yang tersusun dari proposisi deskripsi dan proposisi nilai maka tidak ada isykal sama sekali atas deduksi dan pengambilan konklusi tersebut.
Sekarang setelah jelas dua bentuk komprehensi ini, yaitu komprehensi agama dan akhlak serta hubungan keduanya, perhatian harus diarahkan pada jawaban terhadap masalah hubungan agama dan akhlak, dimana dalam hal ini penentuan ukuran dan parameter akhlak akan menjadi sumber jawaban yang berbeda-beda. Dengan makna bahwa jika akhlak berdasarkan prinsip kelezatan atau prinsip manfaat atau nurani dan akal amali atau berdasarkan prinsip sosial masyarakat, mungkin akhlak dengan agama diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk landasan; dan jika ukuran proposisi-proposisi akhlak adalah kedekatan dengan Tuhan, dengan memperhatikan ketiadaan pengetahuan sempurna manusia terhadap kedekatan dan kedudukan Tuhan maka hubungan antara akhlak dan agama merupakan hubungan kandungan dan qadiyah.
Teori dan Pandangan Pemikir Barat
Komprehensi dan proposisi akhlak, sebelum renesains di Eropa, menerima deduksi dari agama; dan ia juga mendapatkan warna dari filsafat Plato dan Aristo. Abad 18, dengan terbitnya zaman pencerahan, pemikiran deisty, makrifat Tuhan tabii serta ateisme mendapatkan penyebaran, dan akal yang menjadi sumber rujukan dinisbahkan pada dimensi yang bermacam-macam dalam kemasyarakatan dan akhlak, membuat medan sempit untuk agama yang pada akhirnya memisahkan akhlak dari agama. Berikut ini paparan singkat kami terhadap sebagian pandangan pemikir Barat dalam hal ini:
1. Teori deduksi agama dari akhlak
Sokrates dalam suatu dialog memperbincangkan tentang hubungan agama dan keadilan dan mengungkapkan pandangan deduksi agama dari akhlak dan keberadaan agama yang partikuler dinisbahkan terhadap akhlak. Sokrates meyakini bahwa keadilan mempunyai wilayah yang lebih luas dari religius dan religius adalah bagian dari keadilan.[4] Teori ini menjadi kurang dan tidak sempurna dinisbahkan dengan Islam yang meliputi wilayah luas dari pemikiran akidah, akhlak, dan amal.
2. Teori perintah Tuhan (Divine Command Theory)
Sebagian dari filosof ketuhanan Barat seperti Robert Adams memiliki kesamaan dengan aliran asy’ariyyah dalam Islam, berpandangan bahwa sumber dari proposisi-proposisi akhlak adalah Tuhan dan wusul pada hakikat-hakikat akhlak dari sisi akal dan syuhud adalah tidak sempurna. Robert Adams, dalam berhadapan dengan isykal yang menyatakan bahwa hanya dengan menegasikan kezaliman dari Tuhan kita telah mengakui prinsip dan kaidah mandiri akhlak dari Tuhan, menjawab bahwa kemestian seperti ini tidak dharuri; sebab kita tidak hanya beriman pada Tuhan murni; akan tetapi kita juga meyakini Tuhan yang kasih dan cinta terhadap spesies manusia. Berasaskan ini maka mustahil keluar kazaliman dari Tuhan. Menurut pandangan kami. Kritik-kritik yang berkenaan dengan kebaikan dan keburukan yang ditujukan atas Asy’ariyyah, juga masuk atas teori perintah Tuhan ini.
3. Teori kemandirian agama dan akhlak
Kant, filosof Jerman abad ke 18, memperkenalkan agama dan akhlak sebagai dua fenomena yang terpisah dan mandiri. Ia dengan
pandangannya tentang pengetahuan rasional bagi parameter dan ukuran akhlak, menegaskan kemandirian tanggung jawab akhlak serta menguatkannya berdasarkan perintah-perintah akal dan nurani. Namun untuk memberi makna terhadap usaha-usaha akhlak manusia, ia juga menekankan tentang tuntutan keyakinann kepada Tuhan. Oleh karena itu, menurut keyakinan Kant, manusia dalam mengetahui tanggung jawab akhlak tidak butuh kepada agama dan Tuhan, serta untuk mendapatkan motivasi pengamalan tanggung jawab tidak butuh terhadap agama; bahkan menurut ia akhlak dengan anugerah akal murni amali, sudah cukup mengetahui tanggung jawabnya dan tidak butuh pada yang lain sebagai motivasi pengamalan. Manurut pandangan Kant, akhlak tidak memestikan agama dan manusia untuk mengetahui tanggung jawab dirinya, tidak butuh kepada konsepsi Tuhan. Penggerak akhir perbuatan akhlak, adalah tanggung jawab itu sendiri secara dzat, bukan ketaatan pada hukum-hukum Tuhan; namun pada saat yang sama, akhlak merealisasikan agama. Ia, sesudah menetapkan akhlak lewat akal amali, mau tidak mau harus menerima keberadaan ikhtiyar manusia, keabadian jiwa, dan wujud Tuhan sebagai postulat-postulat akal amali.
Penerimaan kebaikan dan keburukan dzati serta pendekatan filosof Islam berhubungan dengan akhlak, menerima pandangan Kant dalam maqam afirmatif; akan tetapi tidak menerima pandangan Kant dalam maqam pembuktian, kasyf, wijdâni (nurani), dan aqlâni (rasional) manusia berhubungan dengan kebaikan dan keburukan.
4. Akhlak tanpa Agama
Akhlak sekuler dan akhlak tanpa agama, merupakan motif lain dari pandangan filosof akhlak Barat yang muncul diakibatkan pertentangan ilmu dan agama Masehi atau ketidaksesuaian doktrin-doktrin Masehi dengan akhlak. Motif ini bercabang menjadi dua kelompok: Kelompok yang kendatipun menafikan agama, tetap berusaha menjaga secara relativ akhlak. Kelompok kedua menerima agama dan akhlak, tetapi menghukumi kebebasan dan keterpisahan wilayah keduanya. Dalam kitab “Tars wa Larz”, di samping dijelaskan tentang kisah Nabi Ibrahim As dan penyembelihan Nabi Ishak As (menurut keyakinan Yahudi), juga kisah ini diperkenalkan sebagai misdak dari pertentangan agama dengan undang-undang akhlak; penulis lalai bahwa perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim As, dinisbahkan pada penyembelihan Nabi Ishak As (versi Islam nabi Ismail As), bukan perkara nyata, tetapi perkara ujian bagi kedua Nabi Tuhan tersebut, oleh karena itu tidak ada pertentangan dengan akhlak.
Karl Marx yang memandang agama sebagai penopang lapisan masyarakat borjuis dan kelompok penguasa, pada akhirnya memperkenalkan agama bertentangan dengan akhlak dan perjanjian akhlak. Demikian juga Freud dalam kitab “Âyandeh-e Yek Pendâr”, meyakini bahwa agama melemahkan perjanjian akhlak. Pandangan kedua orang ini juga lahir dari pengetahuan mereka terhadap agama Masehi abad pertengahan; suatu pandangan yang tidak selaras dengan agama Islam murni.
Menurut pandangan kami, di samping lemahnya dalil dan argumen pengikut pandangan ini, akhlak sekuler juga mempunyai problem yang bermacam-macam, di antaranya: pertama, akhlak sekuler menjatuhkan manusia pada egoisme dan individualisme dan pribadi sekuler membenarkan prilaku tidak memandang penting kebahagiaan orang lain; kedua, jika akhlak tidak mempunyai akar dalam agama, tidak tersisa lagi cara untuk menyingkap nilai-nilai akhlak, sebab penyaksian dan fitrah manusia dalam menyingkap prilaku akhlak, terperangkap dengan pertentangan; ketiga, jaminan perealisasian akhlak dapat terwujud hanya dengan keyakinan dan iman terhadap Tuhan dan kehidupan akhirat.
KEUTAMAAN MANUSIA
Keutamaan manusia yang paling utama ialah Allah menjadikan manusia sebagai ‘kholifah bumi’, artinya sebagai pengganti Allah s.w.t di muka bumi. Maksudnya, manusia merupakan sumber daya untuk melaksanakan segala kehendak-Nya agar terwujud suatu sebab dan akibat di muka bumi, atau dengan kata lain sebagai pelaksana terjadinya proses rahasia takdir yang sudah ditentukan Allah sejak zaman azali. Sebagai Penguasa Tunggal yang hakiki, Allah s.w.t telah memberikan mandat kepada manusia sejak zaman azali. Allah menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:
َ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (kholifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”. Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.(QS.Baqoroh (2); 30).
Manusia sebagai kholifah bumi, juga mengindikasikan bahwa manusia dengan segala kemampuan yang dimiliki dijadikan oleh Allah s.w.t sebagai penguasa di muka bumi, atau menjadi sumber daya dan pengendali seluruh potensi bumi. Itulah keutamaan dan anugerah terbesar yang diberikan Allah s.w.t hanya kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lain.
Potensi pengendali bumi tersebut berupa suatu sistem (sunnatullah) yang letaknya berada di dalam jiwa manusia, merupakan kelebihan pribadi sebagai buah ibadah dan pengabdian hakiki yang datangnya semata-mata karena kehendak Allah. Barang siapa mampu mendapatkan dan mempergunakan sistem itu dengan baik dan benar, maka sesuai kapasitas kemampuan yang sudah dimiliki, seorang hamba yang sholeh berpotensi dapat mengaplikasikan sistem-sistem kehidupan yang beterbaran di alam semesta. Potensi sistem pengendali itu terdiri dari beberapa aspek:
1. Allah Menjadikan Malaikat Berpotensi Mengabdi Kepada Manusia.
Allah SWT. berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. (2); 34)
Malaikat merupakan makhluk yang tidak membutuhkan makan dan minum, tidak seperti makhluk lain, bahkan merupakan makhluk yang sangat tunduk kepada perintah Allah. Allah s.w.t menyatakan dengan firman-Nya: “Penjaganya (neraka) adalah malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS.at-Tahrim; 6)
Dinyatakan dalam firman-Nya di atas (QS. (2) 34), makhluk yang tidak butuh makan-minum itu ternyata diciptakan Allah s.w.t sebagai pendamping hidup bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Oleh karena itu, bagi orang-orang beriman dan beramal sholeh, sadar ataupun tidak, sesungguhnya romantika kehidupan mereka sedikitpun tidak terlepas dari fungsi keberadaan malaikat ini. Sedangkan bagi para hamba yang `arifin, hamba Allah yang hatinya selalu dekat dengan sistem pemeliharaan dan tarbiyah azaliyah itu, keberadaan fungsi malaikat ini dijadikan sebagai bagian hidup yang sedikitpun tidak pernah ditinggalkan.
2. Allah Menciptakan Alam Semesta Berpotensi Dijinakkan Manusia
Potensi sumberdaya manusia sebagai pengendali kehidupan bumi itu tidak hanya dengan dijadikan-Nya malaikat tunduk kepada komando hati mereka saja, namun juga, bahkan langit dan bumi dengan segala isinya juga tercipta berpotensi untuk dijinakkan manusia.
Langit dan bumi serta segala kandungan di dalamnya, tercipta bagaikan rangkaian alat mekanik yang bertebaran di seluruh alam, ternyata dikendalikan oleh sistem (sunnah) pengendali dari pusatnya, hal itu sebagaimana yang ditegaskan Allah s.w.t dalam kandungan firman-Nya:
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. (QS.Fush-Shilat (41); 11)
Ayat di atas telah mengungkap rahasia besar yang tersimpan di dalam kehidupan alam semesta, urusan Ilahiyah yang sudah ditetapkan sejak zaman azali, bahwa sejak langit dan bumi menjawab panggilan Allah Yang Maha Kuasa: “Kami datang dengan suka hati” (QS (41); 11). Maka sejak itu dan bahkan untuk selamanya sesuai dengan kehendak-Nya, seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi itu terkendali dengan satu sistem komando. Hanya dengan Urusan dan Ilmu Allah Yang Maha Perkasa, ketika Allah s.w.t memberikan komando dari sistem tersebut, maka seluruh perangkat yang ada itu, baik yang di bumi maupun yang di langit niscaya dengan serta merta menjalankan masing-masing fungsinya.
Sistem pusat komando itulah hati seorang kholifah bumi, dengan izin-Nya seorang kholifah bumi berpotensi menjinakkan potensi langit dan bumi itu. Allah s.w.t telah menyatakan dengan firman-Nya:
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”
(QS. Al-Jaatsiah; 13)
Dengan dua potensi besar tersebut, maka berarti seluruh makhluk yang ada di alam raya ini berpotensi ditundukkan oleh manusia, kecuali makhluk jin, yang jin memang tercipta sebagai musuh manusia. Namun demikian, sesungguhnya manusia tetap berpotensi dapat menundukkan musuh utamanya itu. Hanya saja, untuk dapat menundukkan jin tersebut manusia terlebih dahulu harus memiliki “sulthonan nashiiro” atau kekuatan penolong yang didatangkan Allah s.w.t kepada manusia. Tanpa kekuatan penolong tersebut justru manusia rentan dikuasai jin, terlebih bagi mereka yang sering bekerja sama dengan jin.
Diriwayatkan dalam sabda Nabi s.a.w, ketika Allah menyatakan cinta-Nya kepada seorang hamba, maka dengan serta merta seluruh makhluk yang ada ikut mencintai hamba tersebut. Dengan kecintaan tersebut, secara otomatis mampu menciptakan peluang yang lebih besar lagi bagi orang yang dicintai-Nya itu untuk mengomando sistem yang sudah tersedia baginya.
Potensi kecintaan seluruh makhluk kepada seorang hamba yang dicintai Allah s.w.t itu telah dinyatakan oleh sebuah Hadits Shahih riwayat Bukhari dan Muslim:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: Apabila Allah s.w.t mencintai seorang hamba niscaya memanggil Jibril a.s dan berfirman: Sesungguhnya Aku mencintai Fulan, oleh karena itu cintailah dia. Baginda Nabi s.a.w bersabda: Lalu Jibril mencintainya. Kemudian Jibril menyeru ahli langit dengan berkata: Allah telah mencintai Fulan, maka cintailah dia, sehingga semua ahli langit mencintainya. Baginda Nabi s.a.w bersabda: Kemudian orang tersebut diterima oleh semua golongan yang berada di muka bumi. Apabila Allah s.w.t memurkai seorang hamba, niscaya Dia juga akan memanggil Jibril a.s dan berfirman: Sesungguhnya Aku benci orang tersebut, oleh karena itu bencilah dia. Baginda Nabi s.a.w bersabda: Lalu Jibril membencinya. Kemudian Jibril menyeru ahli langit dengan berkata: Allah telah membenci orang tersebut, maka kamu semua membencilah kepadanya, sehingga semua ahli langit membencinya. Kemudian dia dibenci oleh semua penghuni bumi. (HR Bukhari dan Muslim)
Pernyataan dalam Hadis itu sejatinya adalah bahasa kias, di mana dengan perlambang itu manusia dapat membayangkan sendiri, betapa ketika seorang hamba dicintai Allah s.w.t maka Malaikat Jibril a.s dan seluruh makhluk, baik di bumi maupun di langit akan mencintainya. Dengan kecintaan tersebut berarti tumbuh semangat pengabdian. Bagaikan tentara-tentara yang setia, maka seluruh makhluk tersebut akan menjaga kekasihnya melebihi menjaga dirinya sendiri, sehingga dinyatakan oleh Allah di dalam firman-Nya: “Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik” (QS.az-Zumar; 34).
Seperti itulah keadaannya, ketika Allah s.w.t menghendaki Nabi Dawud a.s dijadikan sebagai kholifah bumi zamannya, maka Allah s.w.t berfirman:
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu kholifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil”. (QS.Shood (38); 26)
Untuk mengatur kehidupan bumi, menggali dan mengendalikan segala potensinya, menegakkan keadilannya serta memberantas kezaliman dan keangkaramurkaan yang ada di atasnya, maka tugas pertama yang dilaksanakan Dawud a.s adalah membunuh Jalut yang perkasa, sebagaimana telah diabadikan Allah s.w.t dengan firman-Nya:
“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Dawud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya”.(QS. al-Baqoroh (2); 251)
Dalam sebuah riwayat, ketika Dawud a.s memutuskan untuk ikut bergabung menjadi tentara Tholut. Dalam perjalanan Dawud a.s bersama rombongannya ke medan perang, di tengah perjalanan ada tiga buah batu menyapa Dawud: “Hai Dawud, apakah engkau akan berperang melawan Jalut?, bawalah aku dan bunuhlah Jalut denganku”, maka diambillah ketiga buah batu itu oleh Dawud dan diletakkan di dalam ketapelnya. Dawud a.s merupakan orang yang terkenal sangat ahli menggunakan ketapel sebagai senjata.
Singkat cerita ketika masing-masing tentara sudah berhadapan di medan laga, ternyata Dawud a.s benar-benar berhasil membunuh Jalut dengan batu yang dibawanya itu, padahal Jalut adalah seorang raja yang sangat perkasa dan selalu dapat kemenangan di setiap peperangan yang dihadapinya. Jadi, tiga batu yang dibawa Dawud a.s tersebut adalah awal sebuah skenario dari sistem yang terkendali oleh rahasia perintah tersembunyi. Perintah Allah s.w.t Yang Maha Kuasa dengan Segala Kehendak-Nya. Ketika Dawud a.s dengan izin-Nya dapat membunuh Jalut, maka selanjutnya, “Allah memberikan kepadanya pemerintahan dan hikmah, serta mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya”(QS. (2); 251).
Walhasil, keutamaan manusia itu tidak hanya karena manusia mempunyai akal saja, sebagaimana yang difahami banyak kalangan, namun jauh lebih dari itu. Dengan akal dan ilmunya manusia sesungguhnya berpotensi menjinakkan sistem-sistem yang bertebaran di mukan bumi, bahkan di seluruh alam semesta ini. Di sini ada rahasia besar yang harus dikuak, sehingga manusia dapat memperoleh jatahnya itu. Siapa saja dapat mencapai kedudukan yang utama itu, asal mereka mengetahui ilmunya. Maka anda jangan heran jika anda menemukan seseorang bisa merubah batu menjadi emas atau tanah menjadi burung, hal itu karena terjadi atas ilmu dan izin Allah s.w.t. Allah yang menciptakan alam beserta hukum-hukumnya, maka hanya Allah pula yang mampu merubah keadaan ciptaanya tersebut.